Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tafsir Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Hubungan Toleransi Antar Umat Beragama


Seperti yang kita pahami Negara kita Indonesia merupakan negara yang majemuk. Hal tersebut dapat dibuktikan dari bermacam ragam keanekaragaman budaya yang dipunyai oleh bangsa Indonesia. Keanekaragaman itu diantaranya mencakup, suku, bangsa, bahasa lokal, ras, termasuk juga di dalamnya agama. Keanekaragaman ini seperti dua bagian mata pedang, di lain sisi dia dapat menjadi asset bernilai untuk bangsa kita akan tetapi d isisi lainnya ia malah dapat jadi ancaman buat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal diatas membuktikan pembenarannya jika kita lihat beberapa kejadian yang berlangsung di Indonesia akhir-akhir ini. Banyak perseteruan yang berlangsung dikarenakan oleh ketidaksamaan diatas, contohnya : Perang Saudara di Ambon, Tragedi Priok, Peristiwa Lampung, serta mungkin saja yang sangat hangat didalam ingatan kita bermunculannya beragam  aliran sesat (sempalan) seperti masalah Ahmadiyah, Lia Eden, Ahmad Musaddiq (nabi palsu), dan lain-lain.

Timbulnya beberapa momen diatas menuntut timbulnya sikap yang dewasa serta berlapang dada mengingat negara kita merupakan memang negara yang majemuk (plural). Akan tetapi yang berlangsung akhir-akhir ini benar-benar memprihatinkan. Nilai-nilai mulia itu mulai tergerus oleh suatu sikap yang bernama egoisme. Perseteruan-perseteruan dalam beragama seringkali dituntaskan lewat cara-cara yang tidak dewasa serta rawan dengan sikap anarkisme. Disinilah letak pentingnya peranan ajaran agama menjadi lembaga kontrol sosial pada beberapa kejadian yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara. Agama Islam khusunya lewat kitab sucinya Al-Qur’an sudah mengatur pola hubungan antar umat beragama seperi yang akan di terangkan melaui beberapa ayat di bawah ini.

Surat Ali Imran Ayat 61


فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

Artinya: Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.

Asbabun Nuzul Surat Ali Imran Ayat 61

Pada hadis shahih muslim tentang turunnya ayat ini : Rasulullah s.a.w. mendo’akan ftimah, hasan, Husain, maka Nabi bersabda: ya Allah ya Tuhan ku, mereka itu adalah keluarga ku kemudian kami memohon maka kami menjadikan laknat Allah itu bagi orang-orang yang dusta. Maka kami berkata : ya Allah ya Tuhan ku laknat itu bagi orang-orang yang dusta dari kami pada urusan Isa a.s. dan ketika mereka berdo’a dan memohon mereka berkata laranglah dan terimalah dengan keharusan.

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 61

Menurut Al-Maraghi “Dalam ayat di atas perkataan anak-anak soleh dan isteri disebut terlebih dahulu daripada dirinya sendiri. Padahal seseorang sentiasa memikirkan nasib anak dan isterinya, sebenarnya adalah untuk menyatakan betapa Nabi SAW telah berasa aman, memiliki kepercayaan yang penuh dan keyakinan yang teguh dengan kebenaran misinya, hinggakan Baginda menaruh kepercayaan sesuatu misbah yang tidak diinginkan akan menimpa mereka. “Ayat ini dinamakan ayat mubahalah, ertinya berdoa agar musuhnya mendapat laknat Allah”.

Menurut Muhammad Quraish Shihab “Ayat ini diletakkan setelah ajakan memanggil anak dan isteri dan sebelum bermubahalah. Ini memberi isyarat bahawa Nabi SAW masih memberi kesempatan waktu yang relatif tidak singkat kepada yang diajak itu, untuk berfikir menyangkut soal mubahalah, karena akibatnya sangat fatal”.

Hamka berkata: “Mubahalah ialah bersumpah yang berat. Di dalam sumpah itu dihadirkan anak dan isteri dari kedua pihak yang bersangkutan, lalu diadakan untuk mempertahankan kebenaran masing-masing. “Jika kedua belah pihak masih tidak mengalah dan bertolak ansur maka tunggulah laknat-Nya kepada siapa yang masih mempertahankan pendirian yang salah. Inilah ajakan Rasulullah SAW kepada utusan-utusan Najran yang mempertahankan Nabi Isa adalah putera Allah SWT. “Ayat mubahalah adalah pembuktian antara yakin dan teguhnya orang Islam pada iman dan kepercayaannya. Keyakinan Tauhid adalah pegangan seluruh keluarga untuk mempertahankan diri hidup atau mati demi menegakkan kebenaran”.

Dari ayat ini, kita dapatkan beberapa pelajaran:

1. Pertanyaan harus dijawab dengan argumentatif dan logis, namun jiwa membangkang dan kedegilan tidak akan punya jawaban melainkan kemurkaan dan laknat. Orang-orang yang selalu mencari alasan, artinya mereka sedang menunggu hukuman Tuhan.

2. Jika kita meyakini agama Tuhan, maka kita harus berdiri tegak dan hendaknya kita ketahui bahwa pihak musuh akan mundur karena kebatilannya.

3. Ahlul Bait Rasul tak ubahnya seperti beliau, doa mereka mustajab. Rasul dengan amalannya mengenalkan Hasan dan Husein sebagai anak-anaknya dan Ali Bin Abi Thalib sebagai dirinya.

4. Meminta bantuan dari ghaib saatnya adalah setelah memanfaatkan potensi-potensi atau kekuatan-kekuatan normal. Rasul pada awalnya melakukan tabligh dan dialog, dan baru setelah itu memasuki tahap doa dan mubahalah.

Surah Al-Baqarah ayat 62


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 62

Dikemukakan Ibnu Abi Hatim dari Salman al-Farisi: Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang para pemeluk agama yang pernah saya anut. Dia pun menerangkan sholat dan ibadah mereka. Lalu turunlah ayat ini?

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62

Allah Swt berfirman yang artinya: "sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin"

Setidaknya ada tiga penafsiran mengenai siapa yang dimaksud dengan al-ladziina manu. Pertama, orang-orang yang beriman kepada Isa as. yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah saw. Pada saat yang sama mereka berlepas diri dari kebatilan agama Yahudi dan Nasrani. Di antara mereka ada yang sampai menjumpai Rasulullah saw dan mengikuti beliau, ada pula yang tidak sempat. Demikian menurut Ibnu Abbas dalam suatu riwayat.

Kedua, orang-orang munafik yang mengaku beriman. Penafsiran itu dikemukakan Sufyan al-Tsauri, al-Zamakhsyari, dan al-Nasafi.

Ketiga, orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw secara benar. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Qurthubi, al-Thabari, al-Syawkani, dan al-Jazairi.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, Setelah Allah Subhanahu Wa Ta'ala  menerangkan keadaan (dan hukuman bagi) orang-orang yang menyelisihi perintah-perintah-Nya dan mengabaikan larangan-larangan-Nya, melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan,  menerjang hal-hal yang diharamkan, Allah memperingatkan bahwa barangiapa yang berbuat baik (ihsan) dan taat dari umat-umat terdahulu, maka balasannya adalah kebaikan pula (surga). Demikian hal tersebut berlaku sampai hari kiamat. Barangsiapa menaati Rasul maka ia berhak mendapatkan kebahagiaan yang abadi, tanpa rasa takut terhadap masa depan mereka, tak pula rasa sedih terhadap apa-apa yang telah mereka tinggalkan di masa lalu.

As-Suddi berkata tentang ayat ini, ayat ini turun mengenai kaum Salman Al-Farisi, yaitu ketika dia menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam perihal mereka. Ia berkata, “Mereka berpuasa, shalat, beriman kepada engkau, bersaksi bahwa engkau akan diutus sebagai nabi.” Seusai menceritakan tentang pujian kepada mereka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Wahai Salman, mereka termasuk penduduk neraka.” Jawaban itu membuat Salman merasa gelisah. Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'ala  menurunkan ayat tersebut.

Yang dimaksud keimanan umat Yahudi adalah barangsiapa di antara mereka yang berpegang teguh terhadap Taurat dan ajaran Nabi Musa 'alaihissalam sampai datangnya Nabi Isa 'alaihissalam Ketika Nabi Isa datang, maka barangsiapa yang masih berpegang teguh terhadap Taurat dan ajaran Nabi Musa, maka ia akan celaka.

Sedangkan yang dimaksud dengan keimanan umat Nasrani adalah barangsiapa di antara mereka yang berpegang teguh terhadap Injil dan ajaran Nabi Isa a.s maka dia disebut orang beriman dan imannya diterima sampai datangnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka barangsiapa tidak mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan tidak meninggalkan ajaran Nabi Isa dan Injil, maka ia akan celaka.

Surat Al-Baqarah Ayat 120


وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 120

1). Upaya sejak dini memisahkan risalah dan pembawa risalah-nya terungkap jelas melalui ayat ini. Yaitu dengan cara memalingkan Rasul dari risalah yang dibawanya. Agen utama mereka ialah orang-orang Yahudi dan Nashrani. Pertama-tama mereka menyebarkan berita yang diakuinya sebagai ajaran yang bersumber dari Kitab Suci mereka. “Dan mereka (kaum Yahudi) berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.’ (2:80). Tujuannya, menjustifikasi supremasi mereka terhadap Rasul dan pengikutnya tanpa harus meninggalkan kebiasan-kebiasaan lama mereka seperti ajaran baru Nabi Muhammad.

2). Anak kalimat لَن تَرْضَى عَنكَ [lan tardhā ‘anka, sekali-sekali tidak akan pernah redha kepadamu (Muhammad)]. Fungsi لَن (lan) sebagai negasi taukĭd di ayat ini juga berlaku sampai Hari Kiamat. Kedua, kata تَرْضَى (tardhā) yang kata dasarnya رضى (ra-dhi-ya), diartikan dengan “merestui, meridhai, senang”. Ketiga, kata عَنكَ (‘anka), yang aslinya berasal dari dua penggal kata: عَن (‘an) dan كَ (ka). Kata عَن (‘an) sebetulnya adalah bagian dari kata تَرْضَى (tardhā), sehingga lengkapnya harus berbunyi تَرْضَى عَن (tardhā ‘an). Sehingga yang paling penting di dalam kata عَنكَ (‘anka) ini ialah huruf كَ (ka)-nya yang merupakan dhamĭr mukhathab mufrad (kata ganti orang kedua tunggal) untuk Rasulullah.  Agar ayat لَن تَرْضَى عَنكَ (lan tardhā ‘anka) terus berlaku, seperti disifati oleh kata لَن (lan), sepanjang keberlakuan al-Qur’an dan risalah kenabian, maka yang bisa difahami di situ ialah bahwa ayat ini memberikan indikasi yang begitu jelas tentang mustinya selalu ada satu sosok ilahi di setiap masa yang mengganti posisi Rasul di huruf كَ (ka)-nya. Sosok-sosok inilah yang akan menerima keberlakuan ayat 120 ini pada dirinya. Kalau sekiranya yang dituju bukan satu sosok khusus, maka ayatnya akan seperti ini: “Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kalian ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kalian ridha kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (9:96)

3). Menurut al-Wahidi, ayat ini turun berkenaan dengan permintaan cease-fire (gencatan senjata) orang-orang Yahudi dan Nashrani kepada Rasul dalam suatu peperangan. Mereka berharap bahwa dengan cease-fire (gencatan senjata) dan waktu tangguh yang diberikan kepada mereka itu, Rasul sekaligus ridha dan sepakat dengan مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka. Sedangkan menurut as-Suyuthi, mengutip Ibnu Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan pemindahan kiblat salat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, yang membuat orang Yahudi dan Nashrani kecewa dan berputus asa dalam mengusahakan agar Nabi ridha dengan مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka.

4). Bahkan bukan hanya merugi. Siapa yang mengikuti مِلّة (millah, pola hidup, cara berfikir) mereka, dengan meninggalkan risalah Islamnya, maka Allah memastikan akan menarik diri sebagai Pelindung dan Penolong mereka:

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

Surat Al-Baqarah Ayat 213


كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ ۚ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 213

Maksudnya, mereka bersatu di atas petunjuk, kondisi itu selama sepuluh abad setelah Nabi Nuh AS, dan ketika mereka berselisih dalam perkara agama, lalu sekelompok dari mereka kafir, sedangkan sisanya masih tetap di atas petunjuk dan terjadi perse-lisihan, maka Allah mengutus kembali Rasul-rasulNya untuk mele-rai antara manusia dan menegakkan hujjah atas mereka.

Pendapat lain mengatakan, akan tetapi mereka maksudnya, dahulu manusia bersatu di atas kekufuran, kesesatan, dan kesengsaraan, mereka tidak memiliki cahaya dan tidak pula keimanan, hingga Allah merahmati mereka dengan mengutus para Rasul ke-pada mereka, مُبَشِّرِينَ "sebagai pemberi kabar gembira" bagi orang-orang yang taat kepada Allah dengan hasil ketaatan mereka seperti rizki, kekuatan tubuh, kekuatan hati serta kehidupan yang baik, dan yang paling tinggi dari itu semua adalah kemenangan dengan keridhaan Allah dan surga, وَمُنذِرِينَ "Juga pemberi peringatan" bagi orang yang bermaksiat kepada Allah dengan hasil kemaksiatan mereka seperti menahan rizki untuk mereka, kelemahan, kehinaan, serta kehidupan yang sempit, dan yang paling besar dari semua itu adalah kemurkaan Allah dan neraka.

Surat Al-Mumtahanah Ayat 7, 8, dan 9


عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً ۚ وَاللَّهُ قَدِيرٌ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

نَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Tafsir Surat Al-Mumtahanah Ayat 7, 8, dan 9

Secara umum ,ayat ini menerangkan begitu pentingnya toleransi. Seperti dikisahkan oleh Ibnu Ishak dalam “Sirahnya” dan juga Ibnul Qoyyim dalam “Zaadul ma’ad” adalah ketika Nabi Sallallahu’alaihiwa sallam kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah 60 orang.

Diantaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah Al-Qomah.sebagai guru dan uskup. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin mengenal Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dari dekat. Benarkah Muhammad itu seorang utusan Tuhan dan bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran islam itu. Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara dengan Rasullullah Shallallahu’alaihi wa sallam tentang berbagai macam masalah agama. Mereka sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka. Para sahabatpun heboh.

Mengetahui hal tersebut, maka Rasullullah Shallallahu’alaihi wa sallam berkata “Biarkanlah mereka!” maka mereka pun menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisah-kan bahwa para utusan itu memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng, pakaian kebesaran dengan selempang warna-warni.

Peristiwa di atas menunjukan toleransi Rasullullah Shallallahu’alahi wasallam kepada pemeluk agama lain. Walaupun dalam dialog antara Rasullullah Shallallahu’alahi wa sallam dengan utusan Najran itu tidak ada “kesepakatan” kerena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah “anak Tuhan” dan Rassullullah Shallallahu’allahi wa sallam berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’allah dan sebagai Nabiyullah,Isa adalah manusia biasa. Para utusan itu tetap dijamu oleh Rasullullah Shallallahu’alahi wa sallam dalam beberapa hari.

Dari ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan hanya melarang kamu berkawan setia dengan orang-orang yang terang-terang memusuhimu, yang memerangi kamu, yang mengusir kamu atau membantu orang-orang yang mengusirmu seperti yang dilakukan musyrikin Makkah. Sebagian mereka berusaha mengusirmu dan sebagian yang lain menolong orang yang mengusirmu.

Adapun orang-orang yang menjadikan musuh-musuh itu sebagai teman setia, menyampaikan kepada mereka rahasia-rahasia yang penting dan menolong mereka, maka merekalah yang dhalim karena menyalahi perintah Allah.

Surat Al-kafirun Ayat 1-6



Artinya: 1) Katakanlah: Hai orang-orang kafir. 2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.

Asbabun Nuzul Surah Al-kafirun

"Mufassir berkata : sesungguhnya orang meminta kepada Rasulullah s.a.w. agar menyembah tuhan mereka setahun dan setahun lagi menyenbah Allah maka mu ’az berkata: akankah kita menduakan Allah dengan sesuatu maka mereka berkata : maka selamatkanlah sebagian tuhan-tuhan kita, kami mempercayai mu dan kami menyembah tuhanmu wahai Muhammad .Maka turunlah ayat ini.”

Tafsir Surah Al-kafirun

Secara umum (global), surat ini memiliki dua kandungan utama. Pertama, ikrar kemurnian tauhid, khususnya tauhid uluhiyah(tauhid ibadah).Kedua, ikrar penolakan terhadap semua bentuk dan praktek peribadatan kepada selain Allah, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Dan karena kedua kandungan makna ini begitu mendasar sekali, sehingga ditegaskan dengan berbagai bentuk penegasan yang tergambar secara jelas di bawah ini :

Pertama, Allah memerintahkan Rasul-Nya  Sallallahu’allahi wa Sallam untuk memanggil orang-orang kafir dengan Khitab (panggilan) ‘yaa ayyuhal kafirun’ (wahai orang-orang kafir), padahal Al-Qur’an tidak biasa memanggil mereka dengan cara yang semacam ini. Yang lebih umum digunakan dalam Al-Qur’an adalah khitab semacam ‘yaa ayyuhan naas’(wahai sekalian manusia) dan sebagainya.

Kedua, pada ayat ke-2 dan ke-4 Allah memerintahkan Rasullullah Shallallahu’allahi wa Sallam untuk menyatakan secara tegas, jelas dan terbuka kepada mereka, dan tentu sekaligus kepada setiap orang kafir sepanjang sejarah, bahwa beliau (begitu pula umatnya) sama sekali tidak akan pernah (baca: tidak dibenarkan sema sekali) menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir.

Ketiga, pada ayat ke-3 dan ke-5 Allah memerintahkan Rasullullah shallallahu’allahi wa sallam untuk menegaskan juga dengan jelas dan terbuka bahwa, orang-orang kafir pada hakikatnya tidak akan pernah benar-benar menyembah-Nya. Dimana hal ini bisa pula kita pahami sebagai larangan atas orang-orang kafir untuk ikut-ikutan melakukan praktek-praktek peribadatan kepada Allah sementara mereka masih berada dalam kekafirannya. Mereka baru boleh melakukan berbagai praktek peribadatan tersebut jika mereka sudah masuk ke dalam agama Islam.

Keempat, Allah lebih menegaskan hal kedua dan ketiga diatas dengan melakukan pengulangan ayat, dimanana kandungan ayat ke-2 diulang dalam ayat ke-4 dengan sedikit perubahan redaksi nash,sedang ayat ke-3 diulang dalam ayat ke-5 dengan redaksi nash yang sama persis.Adanya pengulangan ini menunjukan adanya larangan yang bersifat total dan menyeluruh,yang mencakup seluruh bentuk dan macam peribadatan.

Kelima, Allah memungkasi dan menyempurnakan semua hal diatas dengan penegasan terakhir dalam firman-Nya : ‘Lakum dinukum wa liya diin’(bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku). Dimana kalimat penutup yang singkat ini memberikan sebuah penegasan sikap atas tidak bolehnya pencampuran antar agama Islam dan agama lainnya. Jika Islam ya Islam tanpa boleh dicampur dengan unsure-unsur agama lainnya dan demikian pula sebaiknya. Ayat ini juga memupus harapan orang-orang kafir yang menginginkan kita untuk mengikuti dan terlibat dalam peribadatan-peribadatan mereka.

Posting Komentar untuk "Tafsir Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Hubungan Toleransi Antar Umat Beragama"